Mau Klik dapat duit!!!! Join di sini aja...!!!

Get cash from your website. Sign up as affiliate. vcBux SentraClix

Rabu, 24 November 2010

Heavier Than Heaven

“It's better to burn out than fade away.”


Rangkaian kata tersebut terdengar sederhana. Sangat mudah dipahami dalam makna kiasan. Tapi tidak akan menjadi mudah bila rangkaian kata tersebut tertulis dalam sebuah kertas dengan bercak darah dan helai rambut manusia. Si empunya tergolek disebelahnya dengan luka menganga di kepalanya. Wajahnya nyaris tidak dapat dikenali karena hancur ditembus pelor.


Adalah Kurt Cobain, bocah dari kota kecil Aberdeen yang semasa kecilnya dikenal periang dan selalu mengumbar senyumnya kepada siapa saja. Tidak satupun memperkirakan bocah kecil tampan dengan mata birunya yang indah ini akan menjadi sejarah dalam rentetan cerita music Punk & Rock. Kurt terlahir dengan bakat seni yang mumpuni. Di awal-awal masa kecilnya dia sudah mampu menunjukan kelebihannya itu. Kemampuan dan imaginasinya sangat tinggi. Mulai dari membuat lukisan, memainkan piano sampai membuat video amatir pernah dilakukannya. Sedikit pertanda bahwa kelak ia akan mengguncang dunia dengan musik yang digilai oleh banyak sekali muda mudi di seluruh dunia.



Masa kecil Kurt adalah masa-masa paling bahagia dalam hidupnya, seperti dituturkan dalam catatan pribadinya. Kurt besar dalam lingkungan keluarga yang sangat mencintainya dengan curahan perhatian yang berlimpah -mengingat Kurt adalah bocah tampan yang baik hati dan periang- membuatnya tampil mencolok di setiap pertemuan besar keluarga. Di masa-masa pendidikan dasarnya Kurt yang sangat membenci pelajaran Matematika justru terlihat sangat menonjol dalam mata pelajaran Kesenian. Hingga masa sekolah menengah Kurt cukup popular di kalangan teman wanitanya karena parasnya yang tampan. Meskipun postur tubuhnya relative kecil dibanding teman-teman sebayanya, rambut pirangnya dan mata birunya yang indah menjadi daya tarik tersendiri bagi para wanita. 



Bencana besar kemudian terjadi pada saat Kurt berusia 9 tahun. Kedua orang tuanya bercerai dan mulai saat itu pula rangkaian mimpi buruk Kurt dimulai. Segala bentuk perhatian yang memanjakannya selama ini kontan musnah. Hari-hari ‘gelap’ kemudian membelenggunya. ‘Dibuang’ adalah kata-kata yang sudah sangat dipahaminya. Beberapa bulan menumpang tidur di lorong-lorong apartemen, di ruang tunggu rumah sakit dan di jok belakang mobil adalah sebagian cerita jalanannya. Berpindah dari satu keluarga ke keluarga lainnya dijalaninya selama bertahun-tahun. Tak ada lagi kebahagiaan yang dirasakannya kecuali satu-satunya hal yaitu kemampuan bermusiknya yang semakin menunjukan kemajuan.



Kurt muda kemudian -dengan terpaksa- semakin mantap ‘hidup di jalan’. Pilihan yang tidak mungkin dihindarinya. Lika-liku hidup yang suram, pedih, menyakitkan dan perasaan terbuang kemudian menjadi inspirasi terbesarnya dalam bermusik, satu-satunya tujuan hidup yang paling realistis yang mungkin dimiliknya. Kurt kemudian memilih music sebagai jalan hidupnya. Keras hati dan pendiriannya atas hal tersebut benar-benar ditunjukkannya. Kurt berusaha untuk terus hidup dan menghidupi musiknya dengan berbagai cara. Salah satu cerita yang paling ironis adalah saat dimana Kurt menjadi tukang bersih-bersih di sekolah terdahulunya dimana ia drop out. Sungguh sangat pedih dikatakannya, menyaksikan teman-temannya yang sangat ia kenal sementara ia menjadi tukang bersih-bersih untuk sekolah mereka, sekolahnya juga yang terdahulu. Kurt kemudian membentuk band yang kemudian kita kenal dengan nama NIRVANA dan semakin mantap dalam karir musiknya. Buah kerja kerasnya kemudian dapat dirasakan saat dia menjadi Rockstar di usia 20-an. 



Karir musiknya tidak membuatnya silau, karna Kurt terkenal sebagai seorang yang sangat total dalam bermusik dan jauh sekali dari pemikiran komersil dan popularitas. Kurt dan Nirvana popular dengan sendirinya. Dengan music punk rock trash nya yang unik, Nirvana berubah menjadi band besar yang sangat terkenal dan digandrungi. Bertolak dengan segala gemerlap itu Kurt justru semakin terjerembab dalam dunia narkoba. Bukan merupakan hal baru bila kita bicara soal music rock, maka kita sudah pasti berbicara tentang drugs. Ketergantungan Kurt terhadap drugs semakin menjadi. Kesuraman dan kekacauan semakin menjadi dilemma bagi dirinya. Dalam kemegahannya sebagai rockstar, ia justru merasa terbelenggu dalam perasaan terisolir, sendiri dan tidak memiliki siapapun. Semua kegemerlapan dunia rockstar ternyata bukan mimpi yang diidam-idamkan seorang Kurt. Kebahagiaannya adalah dimensi dimana ia begitu mendapatkan perhatian dan kasih sayang seperti pada masa kecilnya dulu. Dan itu semua adalah hal yang hampir mustahil untuk didapatkannya.



Puncak rasa frustasi dan kebencian Kurt terjadi saat ia singgah di Italia dalam rangkaian tur eropanya. Kurt melakukan percobaan bunuh diri dengan mengkosnsumsi drugs dalam jumlah yang terlampau besar, lengkap dengan surat bunuh dirinya. Dunia tidak mengetahui bahwa itu adalah sebuah percobaan bunuh diri, sehingga di kemudian dalam program-program rehab nya Kurt dianggap pecandu biasa dan belum sampai pada taraf keinginan untuk bunuh diri. Itu merupakan kesalahan besar, karena seseorang pecandu dengan tingkat frustasi dalam level tersebut hanya tinggal menunggu waktu saja untuk kembali melakukannya. Hal itu terbukti beberapa waktu kemudian dalam kesendirian dan keputusasaannya Kurt memutuskan untuk menghabisai hidupnya dengan meledakkan pistol di dalam mulutnya untuk menghancurkan kepalanya. Di usia 27 tahun Kurt ditemukan tidak bernyawa di bagian samping rumahnya lengkap dengan surat bunuh diri seperti yang dibuat sebelumnya. Dan kali ini bukan lagi percobaan melainkan kenyataan. Dunia Grunge, terlebih lagi punk & rock terguncang. Salah satu megabintangnya tewas mengenaskan mengikuti jejak Jim Morison dan Jimmy Hendrix yang menutup usia mereka sendiri dalam usia 27. Sungguh sebuah ironi, di satu sisi kesuraman, kekacauan dan kegelapan hidupnya menjadi inspirasi terbesar berbagai maha karyanya. Namun disisi lain hal tersebut adalah kegilaan yang menggerogoti hidupnya hingga ia memutuskan untuk menghabisi segala penderitaanya, memutuskan untuk terbakar habis daripada memudar.


Buku Heavier Then Heaven -yang judulnya diambil dari salah satu judul tour-tour awal Nirvana- karya Charles R. Cross ini dinobatkan sebagai ‘Best Seller’ oleh The New York Times. Sepadan dengan usaha si jurnalis musik untuk melakukan lebih dari 400 wawancara dan koleksi berbagai informasi selama bertahun-tahun untuk merangkai fakta mengenai perjalanan hidup Kurt Cobain. Kurt Cobain mungkin dikenal banyak orang sebagai individu yang urakan, pemadat ataupun 'orang gagal'. Namun buku ini mampu mengungkapkan sisi lain Kurt Cobain sebagai seorang seniman besar. Sisi lain perkumpulan seseorang yang dengan keras hati berjuang melalui hidupnya yang suram dan kacau dan juga sisi lain pergulatan untuk menggapai mimpi.


Dalam uraian diatas mungkin tidak mencapai satu persen dari keseluruhan isi buku Heavier Then Heaven. Banyak sekali yang ingin saya tuangkan dari buku tersebut dalam resensi ini, namun rasanya tidak mungkin, karna akan menjadi seperti dongeng yang sangat panjang meskipun mungkin tidak akan membosankan karna banyak sekali cerita mengagumkan pun dramatis yang bisa diutarakan mengenai kehidupan salah satu legenda music dunia. Hal-hal yang begitu mendalam diungkap dalam bentuk tulisan. Ya memang begitu mendalam, sampai-sampai ada beberapa resensi terdahulu yang sempat saya baca mengenai buku ini yang memperingatkan siapapun yang membaca buku ini akan kedalaman kisah dan penuturan dalam buku tersebut yang bisa menjadi pemicu perubahan psikologis pembacanya. Saya sendiri kurang paham mengenai hal tersebut, tapi saya yakin bahwa buku ini –terlepas dari objek pembahasannya- memiliki ‘sesuatu’ yang membuatnya layak dikatakan sebagai sebuah karya yang apik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

vcBux SentraClix